di 30 menit terindah setiap pagi...

Aku bahkan belum sempat bertanya dan melakukan pembenaran akan mimpiku tentangmu, serta pencarian dirimu, tapi aku ingin sesegera mungkin mengakhiri kisah hati ini. Mungkin, mungkin saja ini penghabisan dari semua rasa sukaku ke kamu. Perhentian akan segala cerita tentang kamu, yang, kamu boleh percaya atau tidak, telah mewarnai pagi hariku, membuatku selalu bersemangat menatap siangku hingga senjaku, selama hampir 100 hari. Mungkin juga, ini kisah terakhir tentang kamu yang kutumpahkan dengan segenap rasa di blog ini. Mungkin saja, karena masih banyak cinta, yang ternyata harus kusimpan, dan nantinya niscaya akan kubagikan bagi mereka yang dahaga. Ternyata, setelah kutahu kamu, siapa kamu, aku terlanjur kecewa. Kamu tidak seperti bayanganku, kamu bukan yang aku harapkan. Aku mungkin pengharapanku akanmu yang terlalu membumbung tinggi. You belong to somebody else, you live in a high life, you just too far to reach, you drive in a speed of light. You are just not me at all. Aku letakkan semua pertaruhanku akan kamu, sayangnya, aku kalah. You are just not me. Kalian, mereka, bahkan diriku boleh meneriakiku sebagai pengecut. Ya, aku memang seorang pengecut. Pendamba yang hilang asa. Segala sukaku kepadamu menguap tanpa sisa. Hilang kabur jejaknya tanpa bekas rupa. Entah seharusnya rasa ini milik siapa dan dimana. Aku mundur mengejarmu, terlalu banyak alasan untuk itu. We life a different pace. Aku hanya merasa tak mungkin bagiku untuk bersamamu bahkan memilikimu. Dia yang bersamamu yang memilikimu, atau dia yang lain yang turut mengejarmu juga di gerbong ini. Aku mundur karena ketidak percayaanku. Aku mundur karena aku memang pengecut yang lemah hati. Dia dan dia mungkin lebih layak dibandingkan aku yang tidak setara denganmu. Aku kalah, tapi biarlah, ini juga bukan yang pertama kali. Aku pecundah, tapi tak apa, toh aku tak pernah memenangkan apapun. Aku mundur dari pertempuran hati ini, karena aku merasa basi. Kemenanganpun terasa percuma, aku sudah merasa kalah. Tak perlu beranggapan aku kalah dari dia yang memiliki dan mencintaimu. Aku bahkan kalah dari dia yang mengejarmu juga setiap pagi. Dia terlihat lebih peduli, care, dan sayang kepadamu, dibandingkan aku.

Akhirnya inilah penutup akan 30 menit terindah setiap pagi. Inilah akhirannya, tanpa kemungkinan akan imbuhan lagi. Aku sudah patah arang, sebentar lagi juga baranya akan mati. Dan nantinya, apabila saja, kamu baca tulisan ini, aku hanya ingin kamu tahu, bahwasanya di setiap 30 menit perjalananmu di kereta Sudirman Ekspres setiap pagi, ada lelaki yang dengan sabar menantimu di gerbong ini, menunggumu di pintu kereta ini, mendambamu kala kamu tersembunyi di balik keramaian, dan bahkan menyukaimu, sangat sangat menyukaimu. Ini pula akan jadi 30 menit terindah setiap pagi yang akan aku kubur dengan segala perih, pedih dan sedih. Dan mudah-mudahan saja kamu tahu itu, Nuy...

di tengah keramaian manusia-manusia urban ini...

Aku sekarang tahu namamu, aku tahu kamu sekolah dimana, kuliah dimana, kapan kamu ulang tahun, apa hobi kamu, semuanya, nyaris semua aku sudah tahu. Aku cari kamu di facebook. Ya, aku cari kamu berdasarkan ingatanku akan namamu yang kamu sebutkan di mimpiku. Dan aku temukan kamu, kulihat fotomu, tapi sayangnya aku belum sepenuhnya yakin itu kamu. Aku tetap harus bertanya langsung ke kamu. Aku tebalkan segala keyakinanku untuk bertanya padamu, berharap akan sebuah pembenaran akan apa yang aku dengar dan aku rasa dalam mimpi. Sebuah pembenaran akan apa yang kucari di facebook. Sebuah pembenaran tentang kamu. Lalu pagi ini kugantungkan semua harapan keyakinanku itu di langit-langit gerbong kereta yang berdebu. Kupahat semua raut percayaku di jendela kereta yang rapuh dan hampir pecah ini. Kujilat semua angan indah tentangmu. Saat kamu tampakkan wajahmu di Pondok Ranji, di pintu gerbong kereta ini, lalu kamu langkahkan kakimu, mencari tempat yang tersedia untuk berdiri. Dan hanya satu tempat tersisa, tepat di sampingku. Lalu kamupun berdiri disana. Hatiku bergejolak saat itu, saat aku ingin mempertanyakan keyakinanku. Kuulur waktu, karena canggungku yang tak kunjung pergi. Yang telah kuusir dengan jutaan cara dan makian sehingga bisa ular pun tak mematikan. Kuulur waktu sampai tanpa sadar, kereta ini telah tiba di Sudirman. Saat pintu keluar terbuka, kamu segera berlari-lari kecil ke atas. Dan, ah! Anjrit...! Percuma kukejar kamu, orang-orang ini terlalu padat berdesakan. Dan akhirnya kamupun hilang di tengah keramaian manusia-manusia urban ini. Aku hanya bisa menyesali dan menyumpah serapah dalam hati. Penyesalanku karena menjadi pengecut. Penyesalanku menjadi pecundang. Penyesalanku menjadi orang bodoh. Bodoh! Bodoh...!

kesabaran adalah pohon...

Kukenal kamu sebagai gadis pendiam yang manis. Jarang kulihat kamu bercengkerama dengan teman-temanmu. Jarang pula kamu tampak bercanda atau sekedar curhat dengan teman-temanmu. Kamu itu unik, kamu jarang menyungginggkan senyum, padahal kamu manis saat tersenyum. Bibirmu itu, penuh, lembut, manis. Tapi tak sekali juga aku inginkan diriku mengecupnya, aku tahankan diri, bibir yang selalu terkatup itu, seolah begitu suci. Perasaan ini seolah berdosa bila mengecupnya, takut dan tak berani membayangkannya ternoda. Wajah kamu cantik, meski kamu tak seputih salju, tapi kulitmu yang kecoklatan itu menggugah pemikiran akan eksotisme dirimu. Sayang kecantikan itu terus kamu sangkal dan menutupinya dibalik lembut lebat helai rambutmu. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang kamu sembunyikan? Apa yang kamu tutup-tutupi? Apakah kamu takut, kecantikanmu itu akan membuatku menjamahmu? Sayang, untuk membayangkan bersamamu saja, aku sudah merasa berdosa, apa lagi bila aku lancang menjamahmu. Aku bersyukur, saat kita terpaut di asmara, kamu begitu berbeda, kamu seolah-olah membuat dunia baru bersamaku. Kamu lebih bersemangat, lebih ceria, lebih sering tersenyum, lebih hidup. Apakah aku sudah menjadi penyulut di api unggun kehidupanmu? Ah, betapa menyenangkannya melihatmu tertawa lepas penuh semangat dan gairah. Sesuatu yang ingin kulihat darimu, jauh sebelum kita di deru asmara. Kenapa aku harus menunggu lama untuk itu? Tapi kesabaran adalah pohon yang berbunga paling indah, dan berbuah paling manis, semanis senyummu saat kita dijala cinta. Termanis, yang ada dalam ingatanku...

di mimpiku aku sadar...

Sabtu malam, aku termenung sendiri. Menggelayutkan angan dan harapan tentang dirimu di sendunya bulan yang tak purnama lagi. Sayang bulan itu, rindu akan dirinya yang bersinar penuh, menerangi gelapnya malam. Kupandangi bulan lama, dengan tatapanku, yang jelas tanpa arti untuknya. Iba untuknya, seperti iba pada diriku sendiri, yang terlalu lemah dan lirih ketika ingin menegurmu, sehingga hanya mampu terucap sapa kepadamu dalam hati saja, sambil mulut ini terkatup. Entah sudah berapa lama aku menaburkan lamun dan khayal di beranda rumahku yang kecil ini. Entah sudah berapa lama jarum jam berdetak ketika aku tebarkan serbuk tidur beraroma mimpi di teras rumah ini. Hingga aku tak sadarkan diri dan terjatuh di bangku kayu reot dan lapuk yang kududuki. Aku tertidur, pulas, entah karena lelah, entah pula karena aku terlalu terbuai khayalku sendiri akan dirimu yang terasa mengganjal di lubuk hati. Aku terlelap, terkulai. Semua tampak hitam. Tapi entah datang darimana, aku melihatmu, di mimpiku aku sadar aku sedang bermimpi. Aku tahu aku sedang di alam bawah sadarku, ketika aku tahu ada kamu disini. Kamu duduk di sofa berwarna merah muda, dalam kamarmu yang pun berwarna merah muda. Dengan gaun berkilauan berwarna putih, begitu anggun kulihat kamu. Lagi-lagi, dan bahkan dalam mimpi, tenggorokanku tercekat ketika aku ingin bertanya siapa namamu. Ingin aku berteriak membebaskan diri dari rasa canggung ini. Dan tanpa aku pinta, tiba-tiba kamu sodorkan namamu untuk berjabat tangan denganku, sambil kamu sebutkan namamu. What the ....? Ini mimpi, bahkan aku sadar ini cuma mimpi, hanya dalam mimpi. Dengan lembut kamu sebutkan nama kamu, lemah, pelan, lirih, tapi terdengar jelas, sangat jelas malah, sampai aku bahkan masih ingat namamu senin pagi ini. Dari sudimara, aku kumpulkan semua nyali yang kupunya, segala keberanian kubulatkan, untuk menyapamu di kehidupan nyata, sekedar berkata “Hai...”. Tapi apa lacur, lagi-lagi semuanya buyar ketika kamu masuk melewati pintu gerbong kereta ini, aku jadi kerdil kembali, dan aku berteriak dalam hati, meneriaki diriku sendiri “Dasar Pengecut!”. Dan ya, aku memang pengecut...

di kecantikanmu...

Hari ini kamu menghampiri dan berdiri di dekatku, tepat di depanku. Kamu cantik sekali hari ini. Ah, tumben, ga biasanya aku lihat kamu pakai make up. Pantas saja, kamu terlihat sangat berbeda. Much mature than days before. Tipis sih make up kamu, but that makes you slightly different. Kamu cantik. Aku berdiri di depanmu, tertegun, sambil menahan rasa di hati ini. Bergejolak. Jantungku makin berdetak kencang waktu aku melirik wajahmu. Semakin hari, semakin cantik, semakin aku tak bisa menahan hati ini. Betapa kasihannya diriku, hanya bisa melihat kecantikan itu. Kasihan aku ini yang terlalu pengecut untuk menegurmu. Di kecantikanmu aku cuma berani merasa, tapi tak bisa berujar. Mati berdiri dan kaku di hadapan tatapan bulat mata sayumu itu...

di kaca jendela ini...

Setelah berhari-hari ini, setelah hampir sebulan, aku relain buat ga liat kamu di kereta ini lagi. Dari rindu sampai kecewa, sampai dendam, sampai akhirnya rasa terhadap kamu itu hilang. Dari aku yang terbiasa ada kamu, sampai akhirnya aku jadi biasa tanpa kamu. Tapi kenapa ada kamu lagi pagi ini? Kenapa aku harus lihat kamu lagi di gerbong ini pagi ini? Kenapa? Aku palingkan pandanganku sepagian ini dari kamu. Aku buang jauh keluar, ke derunya angin laju kereta. Aku biarkan mataku (hanya) untuk melihat keluar. Tak kurelakan mataku buat memandangi kamu. Toh aku tak perlu merasa bersalah terhadap perasaan ini, dia sudah terbiasa. Walaupun aku sedikit kecewa karena terlalu congkak, tapi aku tak bermaksud begitu. Di hati terdalam, terdalam, aku senang lihat kamu lagi. Bahagia. Dahaga akan kehadiranmu terlegakan sudah. Dendam yang terbakan ini redam sudah. Dan sekali lagi kamu sudah berhasil bikin aku gugup, tapi aku senang. Seandainya saja kamu tahu betapa leganya bisa memandang bayanganmu di kaca jendela ini. Ya, seandainya saja kamu tahu...

biar...

Ah, betapa menyenangkannya berbincang lagi denganmu, setelah kita berdua terdiam bertahun lamanya. 9 tahun kita berdua tercekat, kelu. Perbincangan hangat yang aku rindu sekian lama. Kali ini, kita berbincang tanpa melibatkan hati dan emosi. Kita berbicara layaknya orang dewasa sebagaimana mestinya, bukan lagi bagai dua remaja yang diburu asmara. Kita berbicara seperti dua orang teman lama, yang terpisah seolah tak pernah terpaut oleh rasa. Perbincangan ringan, hal-hal sehari-hari kita, bagaimana hari-hari itu kita jalani setelah perpisahan kita. Dan lucunya, hal-hal itu diungkapkan tanpa membiarkan rasa kita hanyut didalamnya. Kita bercanda, tertawa lepas, seperti kita tak pernah merasakan pahitnya cinta karena perpisahan. Betapa berbedanya kita sekarang, bukan begitu, sayang? Kamu masih tetap lucu seperti dulu, masih juga menggemaskan. Aduh, aku jadi merasa bodoh, melepaskanmu hanya karena terpisah oleh jarak, bodoh. Tapi sudahlah, toh sudah terjadi juga. Anehnya lagi, kita berbincang tentang kita dulu, tentang kisah kita, cinta kita, benci kita, suka kita dan duka kita, tapi pada saat bersamaan kita berdua sadar, sesadar-sadarnya, untuk mengubur dan tak mengungkapkan hal-hal yang akan memancing atmosfer yang membuat kita canggung. Apakah kita sudah benar-benar dewasa sayang? Aku tak bisa menebak bagaimana suasana hatimu. Tapi apabila aku boleh jujur, ada penyesalan di hatiku, secuil, tapi melukakan. Tak apalah. Biar aku pendam saja rasa ini. Biar. Agar kita tetap berbincang sehangat ini. Agar kita tetap bisa tertawa bahagia ditingkahi canda, ah... senyummu itu, lagi-lagi menghanyutkan aku. Dan adalah hal sederhana seperti itu yang mungkin dulu tak sempat kita rasakan. Mungkin dengan obrolan ini, aku bisa merasa nyaman dekatmu lagi, meski aku tahu, tak mungkin untuk bersamamu. Tapi biarlah toh aku bahagia...

jalan setapak itu..

Huff...kamu. kamu sekarang sudah dewasa ya sayang. Kamu semakin matang menunjukkan kepribadian seorang wanita sesungguhnya. Sesuatu yang dulu kamu selubungi dengan sifat pemalumu. Kamu berubah. Dan mungkin dulu aku yang terlalu cepat memetikmu, mungkin. Saat kamu masih sangat muda, masih terukur oleh permainan kata-kata cinta. Begitupun aku, terlalu terbuai indah bayanganku sendiri untuk bersamamu. Perjalanan kita, mengajari kita banyak. Banyak sekali. Kita tumbuh dan dewasa bersama dalam kabut tipis fajar kasih sayang. Yang mengaburkan pandangan kita akan jalan berat yang harus kita tempuh. Semakin kita berjalan, semakin kita melangkah, semakin tajan kerikil ang menusuk dan merobekkan telapak kita. Tetapi, kita semakin dewasa pula karenanya. Semakin kita erat bergandengan, semakin terjal bukit yang harus kita daki. Tapi, lagi-lagi ia makin meneguhkan kita. Sayangku, jalan setapak kecil yang selalu kita bagi untuk menuju puncak itu, mencatat setiap kenangan tentang kita. Tentang apa yang kita pelajari dalam hidup dan kehidupan bercinta. Jalan setapak berbatu tajam dan terjal itu membuat kita semakin sadar untuk bisa saling menempatkan diri kita masing-masing, seharusnya. Tapi sayang, saat kita berhasil menghalau segala aral, saat kita telah sampai di puncaknya, saat kita telah merasa berada di atap dunia, kita terlalu gembira. Terlalu tinggi mendongakkan kepala. Terlalu pongah menengok kembali jalan setapak itu. Kita lupa siapa kita sayang. Dan perlahan kecongkakan kita itu meruntuhkan cinta yang kita sulam dari onak belukar di sisi setapak jalan kita. Pongah itu mengoyak dan melunakkan hati kita. Tapi apa lacur, kita yang salah. Kita yang lupa. Kita yang terlalu hanyut dan mabuk di kolam cinta, yang ternyata tak semanis saat kita kecap rasanya kali pertama. Kusesali, entah dirimu, walau kutahu kamupun menyesal. Di atap, di puncak perjalanan kita, ternyata itu pula akhirnya. Tak pernah kita sangka, tak mampu kita sangkal. Jemari kita telah tak lagi saling bertaut, telah saling melonggarkan genggamannya. Kita selesai di puncak cinta kita. Ternyata kita lemah, perjalanan itu, tak menempa kita sebagaimana mestinya. Bukan salahnya, tapi salah kita. Kini, kamu cobalah sesekali menengok jalan setapak itu. Kamu coba langkahkan kakimu lagi, meski bukan bersamaku. Teruslah ke puncaknya, bangun dan tautkan tanganmu, walau disisimu bukan aku. Capai, apa yang dulu tak mampu kita gapai. Aku tak mungkin lagi bersamamu, sayangku. Biar aku dibawah, karena aku sudah lelah akan jalan setapak itu. Mungkin nanti, aku akan melangkah sendiri saja kesana...

cinta di masa nanti...

Ingatanku sore ini melambung jauh kepadamu. Kepada sosok dirimu yang selalu menundukkan wajahmu, menyembunyikan raut cantikmu dibalik lebat hitam rambutmu. Menutupi manis lembut bibir kecilmu dalam senyum yang melelehkan naluri. Sesekali aku tersenyum, mengingatmu, mengingat kisah kita. Kisah dua remaja yang terbakar cinta di remang cahaya asmara. Dimana bayang-bayang indah hidup dimasa nanti, selalu mengikuti kemanapun kita melangkah. Segala getir hidup kala itu, tak meresahkan kita. Segala perih parau dunia tak goyahkan kita. Sesekali kuteteskan air mata, mengenang pertengkaran kita. Dua anak manusia yang terkubur dalam ego dan pribadi kita sendiri. Setiap kata-kata kita waktu itu, seakan diputar ulang oleh memori saat-saat kita gamang di perjalanan kedewasaan kita. Sayang, kala itu, kemanapun kita, kugenggam selalu tanganmu, kamu renggut pula tanganku. Kita tak terpisahkan. Namun sayang, ternyata waktu juga yang menhenyakkan hati kita berdua. Memaksakan kesadaran kita, bahwa ternyata kita tak sejalan. Langkahku pada kenyataannya tak seirama denganmu. Arah kita ternyata berbalik. Waktu telah berhasil membuat kita yang kecil ini dihempas, diombang-ambingkan rasa, bagai buih di laut cinta tak berbatas. Waktu jualah yang telah dengan gagahnya berhasil menjauhkan kita yang sebelumnya tak pernah jauh. Waktu dan kehidupan membawa kita hanyut dalam ironi cinta yang dulu kita agung-agungkan. Kita dihempas, terjatuh, terbanting. Saat kamu menangis, akupun menangis. Kita disakiti oleh rasa kita masing-masing. Aku tak pernah mengingkari, mungkin malah mengakui, bahwa yang telah membuatmu luka, itu aku. Aku takkan pernah menyalahkanmu. Sayang, sepenggal kisah kita, adalah warna bagi kita. Nanti, suatu hari nanti, suatu saat, suatu masa, kala kita bertemu lagi, aku hanya akan berkata kepadamu, bahwasanya rasa cinta kita dulu, benci kita dulu, adalah cinta kita selamanya, ia tak mati, ia tetap hidup dalam putaran masa, selama kita masih ada. Meskipun kita berbeda, dan tak satu, cintalah nanti, di hidup yang berbeda, yang akan bangkit mendampingi kita...

awan berarak...

Awannya berarak. Tergesa. Dihela langitnya. Nafasnya terengah. Dianginnya bisa kurasakan. Didinginnya, aku gemetar. Angkasa, tampak menawan di lembayungnya, yang ia campakkan perlahan. Di syahdunya, ia membius, lalu membunuh. Menggelapkan setiap yang dilaluinya. Aku hanya diam di kegelapannya. Hanya suara makhluk-makhluknya menemaniku. Di hitamnya malam...

awan senja...

Awan senja ini mengular, bergulung, merayap di langit lapang warna biru. Putihnya ditingkahi ungu jingga lembayung. Nampak jelas ia, meski jauh ia. Surya senja mulai redup, cahayanya pudar di jejaknya awan. Burung-burung gereja terbang berarak pulang. Punggungnya penuh bara warna surya. Bulan mengintip dari timur, dari arah datangnya matahari. Diikutinya mentari, lalu diam berkuasa sejenak, sebelum tahtanya direbut lagi oleh raja surya. Aku, makhluk kecil di putaran roda hidup raksasa ini, hanya sekedar berandai. Andai ini tiap hari...

hitamku...

Masih adakah separuh hatiku, yang kuberikan hanya untukmu, kuharap engkau masih menyimpannya, jangan kau pernah melupakannya...
Masih adakah separuh janjiku, yang kubisikkan hanya padamu, kuharap engkau masih mengingatnya, jangan kau pernah melupakannya...
Maafkan kata yang telah terucap, akan kuhapus jika ku mampu, andai kudapat meyakinkanmu, kuhapus hitamku...
Andai kudapat, memutar waktu, semuanya takkan terjadi...

Sayang, lagu ini, selalu kunyanyikan saat aku rindu kamu, saat aku menyesal sekaligus bersyukur telah pergi darimu. Maaf...


*Bang Deddy, maaf, aku pinjem lagunya ya? lagu diatas punyanya Andra and The Backbone judulnya Hitamku

sore...

Sore itu, kamu peluk diriku erat. Kamu teteskan air matamu di bahuku. Kamu tatap mataku, kamu berbisik lembut, dan berkata kamu takkan bisa bertahan tanpaku. Sayang, tangismu meruntuhkan hatiku. Jemarimu meremukkan rasaku. Dan seketika aku merindumu juga.

Sore ini, setelah tahun-tahun berlalu. Kamu datang lagi kepadaku. Siapa kita sekarang, bukan lagi siapa kita dulu. Kita, dua orang yang bukan lagi dua remaja saat itu. Kamu semakin dewasa, sayang. Dan kamu masih memelukku erat, seperti kamu memelukku waktu itu, seakan takut kehilanganku lagi.

Sayang, maafkan aku yang selama ini telah hilang darimu. Aku undurkan langkahku dulu, karena kutahu, aku takkan, takkan pernah bisa, jadi yang terbaik bagimu. Dan kamu lihat sekarang, kamu sudah bersamanya, bahagia. Dia, yang sekarang jadi bagian terbaik dari hidupmu. Jangan pandang aku lagi. Tatap dia dan masa depanmu bersamanya.

Sayang, saat kubalas pelukanmu, saat itu pula aku berjanji, aku takkan hilang lagi. Kamu tetap kekasihku, aku tetap kekasihmu. Aku masih mencintaimu, meski cinta kita melarang kita untuk saling memiliki.

Cinta, hanyalah sebuah rasa dari Tuhan, yang dipinjamkanNya, agar kita bisa bersyukur atas nikmatNya, seperti aku yang selalu bersyukur pernah bersamamu, Sayang...

sesaat...

Meski kamu sesaat. Kamu ada disini. Meski kamu beri aku pilihan yang sulit. Kamu tetap ada disini. Meski kamu pergi. Kamu selalu ada disini. Bertahun sejak perpisahan itu terjadi. Kenanganmu tak kubiarkan pergi. Aku lipat dan kubungkus rapi. Aku jejalkan di sini. Kusimpan kamu disini. Di kotak di sudut hati ini. Enah dimana kamu kini. Kamu tetap ada disini. Entah bersama siapa kamu kini. Kamu selalu ada disini.

Di penghujung hari ini. Entah apa yang menghampiri. Kubuka lagi kotak cinta ini. Kutemukan kamu kembali. Tapi kamu tak sendiri lagi. Untuk kamu ketahui. Masih ada rasa untukmu di hati ini. Tak kan kubiarkan pergi. Terlalu indah rasa ini. Terus kusimpan, kugenggam, kupegang erat sampai nanti. Sampai aku mati dan pasti takkan hidup lagi.

gadis kecil pemalu...

Kamu, gadis kecil pemalu yang kukenal dulu. Hari ini kukenal kamu lagi. Bertahun kemudian. Tak ada yang berubah dari dirimu. Masih seperti dulu. Wajahmu. Lakumu. Suaramu. Nada bicaramu. Ah...aku jadi merindukanmu. Merindukan saat-saat nyaman bersamamu. Pembicaraan-pembicaraan manis kita. Kenangan-kenangan indah kita. Betapa kamu, meski sejenak, telah menjejakkan rasa di cintaku. Mengecapkan cinta di jiwaku. Gadis, aku merindukanmu...

Kamu yang dulu...

Kamu yang sekarang...

tujuan yang hilang...

Tangan-tangan raksasa bernama kesendirian itu menggenggamku dengan teramat kuat. Meremukkan hatiku dengan mudahnya. Jari-jarinya mencengkeram dengan hebat. Merobek setiap sudut sisi ruang hatiku.

Karang pencarian itu teramat tajam. Bebatuannya menjorok dan melukakan. Kerikilnya menusuk dan membius. Menghancurkan bahtera kecilku yang kudayung dengan kedua tangan lemah ini. Jiwa ini telah tercabik.

Jiwa ini, cinta ini, rasa ini, terkoyak. Darah cintanya tergenang lalu mengalir deras, ke hulunya, ia mati. Masuk ke bumi, dan tertelan, terinjak oleh penderitaan yang sudah mati rasa.

Aku berjalan gontai, terhuyung. Hanya karena dorongan atas pencarian penawar kesendirianku akanmulah aku merasa raga ini harus bangkit. Bangun. Berjalan. Meski tak tahu kemana nanti. Di tujuan yang hilang, aku mencarimu, atau labuhan yang lain...

mendengar senandung ini...

Betapa menyenangkannya mendengar senandung ini. Senandung lagu kita. Lagu yang selalu kita dendangkan bersama. Menikmati lagu ini sama seperti menikmati hidupku dulu bersamamu. Senang dan bahagia kita. Tak ada duka dan nestapa. Telah lama tak ku kecap rasa ini bersamamu. Tapi lagu ini, seakan membawa semua kembali ke hadapanku. Membawamu juga ke jiwaku...

tangan-tangan kecil cinta...

Tangan-tangan kecil cinta meraba-raba angkasa. Mencoba menggapai-gapai asmara. Lengan-lengannya yang lemah berusaha sekuat tenaga meraih asmara. Sayang, asmara terlalu jauh. Sayap-sayap hati leleh terbakar panasnya surya. Jiwanya legam dan tersesat di angkasa. Lalu akhirnya mati sebab merana...

di akhirnya...

Udah hampir seminggu, gw ga liat dia. Dia yang gw ga tau namanya. Gw coba mengetuk hati gw, kemana gerangan dia? Selasar gerbong ini udah berhari-hari gw pandangi, tapi tetap kosong. Warna keceriaan yang biasanya gw temukan pagi hari, sekarang udah luntur. Hilang, berganti dengan warna-warna suram dan gelap. Dari ujung ke ujung, gw tetap ga bisa menemukan dia. Kemanakah wajah rupawan cinta itu? It’s been a week now. Jujur, walaupun cuma bisa memandanginya, tanpa nyali untuk menyapanya, hanya dengan lihat dia berdiri di depan gw membelakangi gw, gw udah merasa jadi orang paling beruntung sedunia.
Tapi sekarang, semua nyali, keberanian, senyum, tegur dan sapa yang udah gw kumpulin, menguap percuma di udara. Seakan semua itu ga berarti sejak gw ga lihat dia lagi di gerbong ini. Sejak dia hilang dari pandangan gw. Sejak di berhenti untuk datang di hari gw mempersiapkan mental untuk menegurnya. Semua jadi berasa terlambat, semua jadi hening, dan akhirnya semua jadi basi.

Minggu lalu, itu berarti hari terakhir gw lihat kamu. Gadis, seandainya kamu ada lagi disini. Pasti hari gw akan berwarna lagi, ga akan lagi gw di hitam putih cinta kaya minggu-minggu ini. Gadis, gw rindu lihat kamu disini, berdiri anggun...

Di akhirnya gw merasa... Seandainya kamu tahu, seandainya gw lebih berani... Seandainya aja...

di perjudian cinta...

Rintik hujan pagi ini iringin ayunan kaki gw ke stasiun. Tempat dimana asa dan rasa gw digantungkan tiap pagi. Tempat dimana gw selalu berharap bisa bertemu dengan dia tiap hari. Ini udah seperti judi buat gw. Dan gw udah terlalu addict akan keberadaannya. Gw udah terlalu bergantung di rasa gw akan dia. Dan ternyata di perjudian gw hari ini, gw harus menelan kekalahan. Dia ga datang. Kemarin, waktu kereta gw terlambat, dia ada, walaupun kemungkinannya kecil. Tapi ternyata hari ini, dengan nilai kemungkinan yang lebih besar, dia malah ga ada. Gw akui gw kalah. Gw kalah telak di perjudian cinta gw hari ini. Gw kecewa, gw sedih. Gw dicampakkan rasa yang bergelantungan ini...

di derunya suara kereta...

Ah... Pagi ini kereta gw terlambat. Hati gw jadi mengkerut. Karena kecil kemungkinan gw bisa lihat dia pagi ini. Padahal gw udah menanti datangnya pagi ini. Gw udah ngumpulin segenap keberanian dan nyali untuk sekedar menyapanya. Tapi apa lacur. Hati gw ciut lagi karena keretanya terlambat. Jadwal kereta pagi ini, ternyata ga secerah cuaca hari ini. Hati gw jadi ikut berantakan. Berceceran di sisi rel yang gw lewatin. Berkeping-keping dan beterbangan ditiup angin. Tapi gw masih berharap bisa ketemu dia, waktu keretanya sampai di Pondok Ranji.

Masih terus gw gantungkan harapan gw di alirnya laju kereta ini. Mengambang di derunya suara kereta sampai ke langit pagi berwarna biru. Saat pintu kereta terbuka... Gw bersyukur pada Tuhan, dia ternyata masuk di kereta yang sama dengan gw. Ah... Leganya hati ini, meski mengkerut dan ciut...

di hembusan anginnya senyummu...

Gw merindu dan mendendam untuk bisa melihat kamu lagi. Dendam yang membuncah teramat besar, yang gw pendam berhari ini. Saat ianya memuncak dan menjulang lalu menjadi liar, dan gw udah ga mampu lagi menahannya. Kamu datang. Di senyummu, dendan dan rindu itu bertekuk lutut. Perlahan lalu ia hancur, leleh dan kemudian hanyut di alurnya cantikmu. Dan lalu, gw akan hidup lagi hari ini, di hembusan anginnya senyummu yang menyejukkan...

di tempat yang sama...

Dirimu hilang hari ini. Di mata gw kosong. Gw ga tau harus mencari kamu kemana. Gw tau, gw bisa rasakan. Kamu ada, tapi mesti gw cari kemana? Ke ujung, lalu lari ke ujung yang lain. Gadis, gw sangat sangat berharap loe tau yang gw rasakan. Rindu ini. Ga perlu sampai ikut merasakannya juga. Karena gw, akan selalu ada disini. Berdiri di tempat yang sama, setiap pagi. Menunggumu...

di cawan rasamu...

Wanita, hadir dalam kharismanya masing-masing. Setiap dari mereka hadir dengan gurat raut kecantikannya tersendiri. Begitu juga kamu. Seperti kamu datang pagi ini di depan gw. So white, so bright, so clear. You’re such a wonder. Kamu berdiri tepat di depan gw. Kamu ada sangat dekat pagi ini. Gw bisa dengan jelas memperhatikan wajahmu itu. Wajah mungilmu itu. Senyum kecil di bibir tipismu itu. Auramu menyeruak di balik rona lembayung pagi. Aroma cintamu bisa gw cium dari kejauhan, disebalik deru laju kereta yang penuh debu. 

Namun tatapan mata bulatmu yang sayu itu seakan kosong. Kamu buang pandanganmu jauh keluar, di biasnya kelebat sisi jalannya kereta ini. Apakah hatimu yang hampa mulai terasa kosong? Apakah bejana cintamu harus segera diisi? Bolehkah gw, menuang air harapan di cawan rasamu?

di secarik kertas...

Gambar ini, takkan pernah selesai. Gw ternyata gw cukup tegar untuk menahan segala gejolak hati ketika meluapkan segala indahmu di secarik kertas...

di bayang sosoknya...

Hujan pagi ini, ga sedikitpun menyurutkan langkah kaki gw. Titik-titik airnya yang penuh, mengambangkan rindu ini ke permukaan. Cinta ini terbiaskan di pelangi yang terbuat dari tetes-tetes embun hati. Asa ini telah membumbung. Mengangkasa, di redupnya surya pagi ini. Saat gw temukan dia di Pondok Ranji. Blazer abu-abu. Ya, dia dengan blazer abu-abu itu. Dia terlihat dewasa, namun tetap ga bisa menyembunyikan belianya. Dia benar-benar menghentikan pandangan mata gw, di satu titik, dia seorang. Gw, hanya bisa berdiri dan tertegun. Dia berdiri membelakangi gw. Tapi gw tetap bisa lihat profilnya. Pipi itu, begitu menggemaskan. Ga perlu sampai gw sentuh. Cuma dengan melihatnya aja, gw udah bisa merasakan lembut auranya. Sesekali dia terlihat melirik ke arah gw. Kali ini, gw biarkan dia tahu kalo gw ada disini, memperhatikan dia. Biar. Entah apapun reaksinya nanti. Gw terlalu terpesona. Tersihir. Terpaku. 

Melukiskannya ga akan cukup dengan gurat-gurat pensil dan tinta. Ga akan pernah cukup dengan kumpulan rangkuman kata-kata terindah di dunia. Di bayang sosoknya, gw mampu bertekuk lutut, lemah...

di keremangan malam...

Entah apa yang sanggup gw katakan lagi tentang dirimu, gadis. Gw udah kehabisan kata-kata, lidah gw udah berasa basi. Kamu begitu cantik. Terlalu cantik malah. Untuk kamu tahu, gadis, dirimu telah berhasil membunuh ayunan jemeri gw diatas kertas. Kamu telah berhasil memporakporandakan naluri perspektif gw. Gadis, gw ga pernah menyayangkan itu. Apapun itu yang kamu lakukan, walaupun akan menyakitkan. Tak apalah. Di keremangan malam ini, gw masih berharap untuk bisa sekedar tahu namamu. Masih terus berharap untuk hal sederhana itu...

di genderang derap kereta...

Pagi yang cerah. Mentari mengibarkan cahayanya laksana panji ksatria di palagan. Langit biru, bagai padang permainan bagi burung-burung gereja. Gw nyaris ketinggalan kereta pagi ini, sempat muncul keraguan akan pertemuan dengannya. Seperti awan yang tidak benar-benar putih, setengahnya terbakar matahari. Di Pondok Ranji, awan berarak, menuju tujuan yang hanya diketahuinya sendiri. Memayungi sosok indah itu. Oh, that green sweater suits her so much, she looks nice, neat, cute and of course as sweet as she used to be. Ia nampak lelah, matanya setengah terpejam, membuat kelopak indah itu tampak lebih sayu dari biasanya. Profil itu terpahat dengan sempurnanya. Raut itu terlekuk dengan indahnya. Di genderang derap kereta pagi ini, gw temukan mahakaryaNya yang ga kan jenuh gw resapi dan syukuri...

di sinar rona mentari...

Untuk kesekian kali, gw menanti sesuatu yang ga pasti. Pagi ini, ke arah manapun gw lihat gerbong ini, gw ga melihat sosok indah rupa surgawi itu. Wujud keindahan itu ga menyeruak muncul dibalik riuh rendah kumpulan manusia hari ini. Mungkin aja seharusnya gw bunuh rasa ini dari dulu. Dengan 2 pilihan, menyapanya atau pergi dan menghilang. Tapi gw belum bisa memilih untuk sekarang ini. Gw terlalu pengecut untuk lari pergi menghindar dari kecantikannya. Gw masih terlalu cinta untuk melihatnya berdiri di depan gw, di dekat gw, ato bahkan hanya sekedar di belakang gw.

Penantian ini sempurna untuk bisa dibilang penantian cinta. Sempurna juga untuk menghempaskan rindu hati. Tak apalah. Saat rindu itu benar-benar hilang mati terhempas ke bumi, saat kereta ini hampir tiba di stasiun Sudirman. Gw palingkan muka gw ke belakang. Betapa Tuhan Maha Adil, auranya bersinar di belakangku. Penantian gw berujung. In a sudden, came out of nowhere, dia dibelakang gw. Ingin gw tersenyum ke dia, tapi bibir ini terasa getir. Cukup gw pendam aja rasa ini. Gw wudah cukup bahagia. Jiwa ini sudah merasa cukup, bagai di sinar rona mentari, cerah dan menari-nari pagi ini...

di hadapan raut rupa indahmu...

Sketch book ini masih kosong, betapa susahnya menggambarkan dirimu di buku ini. Dirimu terlalu cantik untuk kutumpahkan di secarik kertas. Pensil ini terlalu hitam untuk melukiskan lembutnya dirimu. Jemariku lemah dan gemetar di hadapan raut rupa indahmu...

di gundahnya hati...

Hati gw beku dan membiru pagi ini. Kaku. Dingin. Dia terlalu jauh disana. Mata sayunya hanya sanggup gw lihat dari kejauhan. Gw intip dari balik ramainya kerumunan. Suasana hati gw kacau, rasa itu tercampur aduk. Rindu itu terombang-ambing, oleng kesana dan kemari. Seperti gw yang dihempas kesana kemari oleh lajunya KRL pagi ini. Dia dibalik keramaian, tak bergeming. Gw gelisah. Di gundahnya hati, gw termenung...

di rindu pagi...

Kemaren gw ga berangkat dengan KRL ini. I had this kinda family matters, so I missed my train yesterday. And so does my heart, misses her so much. Gw ga tau, dan ga berani berharap dia merasakan hal yang sama. Hari ini gw kembali dengan kereta yang sama setiap pagi. Lagi dan lagi, ditempat yang sama, dengan orang-orang yang sama. Dan dengan dia pastinya. Gw lihat dia disana, dibalik ramainya kerumunan kaum komuter. Di sebalik kerah-kerah kaum pekerja.

Ah, betapa manis dan anggunnya dia. Wajah itu, rupa itu, rupa cinta, wajah yang ingin dilindungi, rupa rindu, wajah yang bikin hati biru dan beku. Dia disana, di balik semua riuh itu. Dengan blouse dan rok hitam, betapa manisnya dia Tuhan. Mungkin, ya mungkin aja, dia ga akan pernah menyadari gw ada selama ini, disini. Terkadang dari tempat yang begitu dekat, ga jarang dari tempat yang terlalu jauh. Mungkin dia ga sadar ada gw. That’s ok with me.

Gw ga sakit, karena gw mencinta. Gw ga kecewa, karena gw mendamba. Di rindu pagi ini, gw temukan lagi keindahanNya...

She was an ordinary girl. Way too ordinary. But she become a goddess, the way she smile...

di birunya langit...

Indah pagi ini, matahari pagi menyeruak dengan sinarnya yang menyilaukan mata gw. Langit biru, tampak tenang. Setenang hati gw yang melihat dia berdiri tepat di depan gw. Begitu dekat, seolah-olah gw ingin menyentuh wajah lembut itu, ingin gw usap wajah halus itu, but I just can’t. Ingin menyapanya, tapi tenggorokan ini terasa tercekat, lidah ini kelu, mulut ini kaku, rasa ini gentar, bergetar menggila. In her grey jacket, she was so quite and calm.

God, I can’t thank You enough for this magnificent awesome morning. Di birunya langit, aku terpaku dan terpana di senyumnya...

di hati...

Kamu, yang ga aku tahu siapa nama kamu. Kamu, yang setiap pagi selalu mengisi irama hidupku. Kamu, yang setiap pagi membangkitkan semangatku. Kamu, yang setiap pagi membuatku mengalihkan pandanganku. Kamu, yang punya rambut sebahu. Kamu, yang selalu datang dengan jaket abu-abu. Kamu, yang berjalan dengan langkah yang ayu. Kamu, yang selalu membuat diriku terpaku. Kamu, yang selalu membuat lidahku kelu dan kaku. Kamu, yang bikin mulut ini tercekat dan beku. Kamu, yang bikin nada-nada indah di jantungku. Kamu, yang bikin suasana lebur dan syahdu. Kamu, yang selalu melihat dengan mata kamu yang sayu. Kamu, yang bikin 30 menit setiap pagiku terasa cepat berlalu...

Seandainya, kamu baca ini. Aku cuma pengen tahu nama kamu. Biar bisa kusimpan dalam. Di hati...

di menit terakhir...

Gw harap-harap cemas pagi ini, sangat berharap dia datang. Berharap dia selalu masuk di gerbong yang sama. Di gerbong ini, penuh sesak, terlalu banyak manusianya. Di stasiun Pondok Ranji, orang-orang berdesakan untuk masuk. Gw berdiri terpaku di ujung gerbong, gw sortir setiap dari wajah-wajah mereka yang masuk. Tapi gw ga liat dia masuk, dia dimana? I’m dying, desperately waiting and wanting her.

Gw tunggu, tunggu, dan tunggu. Detik berjalan, menit berlalu. Sampai akhirnya, dia datang. Berlari-lari kecil dalam keanggunannya. Rambut hitamnya tergerai tertiup angin. Menggelombang di aroma pagi itu. Dia masuk ke dalam gerbong ini, di menit terakhir gw menunggu...

di pintu keluar...

Mungkin hanya dikejauhan gw bisa ngeliat dia hari ini. Entah ini nyata atau ga, mimpi atau bukan, atau hanya teori gw yang mencoba menenangkan kegalauan gw. Dia nungguin gw diatas, di pintu keluar. Mungkin buat orang lain biasa, ga ada maksud apa-apa, mungkin di perasaan gw aja kali. Gw juga ga tau. Seconds after I walked in front of her. Di ikutan jalan. Right besides me. Di sebelah kanan gw.

Hati gw berantakan. Perasaan ini campur aduk. Kecewa itu hilang, berganti dengan rasa kikuk, grogi, deg-degan. Entah apa pun namanya itu. Irama langkah yang sama dengan gw. Gw ga tau dan ga bisa nebak apa maksudnya itu. Tapi gw senang. Gw bahagia, dan kebahagiaan itu hadir di pintu keluar stasiun Sudirman...

di kejauhan...

The train was running a little late, then speed up so quick. Dia Pondok Ranji, dia masuk di gerbong yang sama setiap hari, di gerbong yang sama tempat gw selalu berdiri. But today, in the same car, but in different section. Dia masuk diantara kerumunan orang-orang. Dia ngeliat gw berdiri di ujung gerbong. Sebentar. Lalu dia berhenti. Still in the different section of the car. Jauh. Jauh dari gw, terlalu jauh buat gw, jangankan untuk menggapainya, untuk melihatnya aja, that was too damn far. Tuhan, dia disana, kumohon kepadaMu, bawa dia kemari. Agar gw bisa ngeliat dengan jelas ciptaanMu yang indah itu lagi, pagi ini, pagi esok, pagi esok lusa, setiap pagi selamanya.

Gw cuma samar-samar ngeliat dia, gw cuma bisa merayakan kedukaan rindu buat dia, di kejauhan...

God, I love that smile...

di ambang putus asa...

Dengan segala keputusasaan , gw cari dia sore itu. Sebuah alasan sederhana, apakah dia pulang dengan kereta yang sama dengan gw? Dari ujung rel terjauh, hingga ujung yang lain, gw telusuri dengan langkah perlahan dan gontai. Setiap wajah-wajah kusut itu, setiap raut muka lelah itu, dia ga ada. Ga tau dia dimana. Apa dia ga pulang di jam yang sama ma gw? Apa dia pulang lebih dulu? Atau dia pulang dengan kereta berikutnya? Apa dia pulang dengan seseorang? Seorang cowok mungkin? Tuhan, gw ga kuat untuk ngebayanginnya. Gw terlalu cemen untuk memikirkan dan apabila harus menerima kenyataan itu. Gw di ambang putus asa...

di hati gugup...

Pagi ini gw berdiri tepat di belakangnya. Dia begitu anggun, baju rompi terusan warna hitam, dengan kemeja putih. Tuhan, gw ga bisa ngomong apa-apa, dia terlalu indah. Saat tangannya terangkat ke atas, sekilas gw lihat, ada bekas luka di pergelangan tangan kirinya. What was happen to her? Namun begitu, dia tetap terlihat indah, tetap terlihat manis dan ga berkurang sedikitpun.

Setelah sekian lama, gw hanya bisa memperhatikan dia dari belakang. Hanya dari belakang pun, gw tetap bisa menikmati kecantikan alaminya. Hanya dari belakang pun, gw bisa bahagia melihat dia. Namun tiba-tiba, dia memalingkan badannya ke arah gw! Dia di depan gw sekarang! Mati gw! Gw mesti ngapain nih? Ah...kok gw jadi kikuk begini? Sesekali gw curi-curi pandang wajahnya. Matanya, mata bening sayunya itu. Dia melihat ke arah jendela, melihat ke luar. Dipandanginya sisi rel kereta ini, blurry image...

Saat dia memalingkan wajahnya ke arah gw, cepat gw buang jauh tatapan mata ini. Gw salah tingkah, jantung gw berdetak kencang. Di hati gw terasa gugup...

di tepian khayal...

Mata itu, memandang dengan sayu. Bibir itu, tersungging dengan malu. Pipi itu, tampak merah bersemu. Rambut itu, lembut tergerai sebahu. Dia ga cantik, dia biasa, terlihat biasa, malah terlalu biasa, ya, terlalu biasa. Jangan bayangkan dia yang berkulit putih, dengan bibir merah merekah, dan make up bak model. She's just a rare kind of ordinary beauty. Cantik bukanlah kata yang tepat buat menggambarkan dirinya. Manis atau bahkan indah, mungkin terasa lebih tepat. Sosoknya yang manis itu, yang indah itu, yang bikin gw ga pernah sehari pun, bosen buat ngeliat dia. Never ever. Not even a single day. Segala yang ada di dirinya, semua hal-hal yang 'biasa' yang ada pada dirinya, yang bikin dia terlihat jauh luar biasa dibandingkan cewek lain.

Sayang, dia menyakitkan. Dia mematikan. Dia membius. Dia meracuni. Dia menyesakkan. Dia menyebalkan. Dia mengecewakan dan menyesatkan cinta semua laki-laki yang hanya bisa memandangnya setiap hari, tanpa bisa bersamanya. Seperti gw. Yang cuma bisa ngeliatin dia, dan hidup bergantung di tepian khayal bersamanya...

di ujung harap...

Gerimis kecil pagi ini, titik-titik air jatuh perlahan, 06.15 gw udah nungguin kereta gw di Sudimara, calon penumpang juga belum banyak, hanya ada beberapa. Jam berjalan, tanpa sadar, stasiun kecil itu sudah ramai. Sebentar kemudian kereta datang, penumpang ramai berdesakan masuk ke dalam kereta. Di ujung, di sudut, di gerbong 3, seperti biasa, gw disana. Merasakan dan meresapi setiap lirik dari Debu di lagu Mahzab Cinta. Kata-katanya dalam, kena di hati gw. Kereta melaju kencang ke Pondok Ranji. Ah, gw ketemu dia lagi hari ini. Gw berharap. Dan berharap. Gw liatin setiap wajah-wajah yang masuk di gerbong 3 itu. She wasn’t there! God, what was happen to her? Sakitkah dia? Waktu kereta udah mulai jalan, gw terus memandangi selasar gerbong itu. Wajah orang-orang. Muka-muka bangun tidur yang dipaksa (atau mungkin tidak) untuk sadar dan terjaga akan tugas-tugas hari ini. Ga sekilaspun gw liat muka dia. Dimana dia hari ini.

Kereta terus berjalan cepat dan laju. Berhenti sejenak di stasiun Palmerah. Gw berharap, ketika penumpang mulai berangsur turun dan semakin sedikit, gw bisa liat dia. Tapi dia ga ada. Harapan gw jadi sia-sia. Kereta laju kembali, menuju stasiun Tanah Abang. Penumpang semakin sedikit. Banyak yang udah beranjak turun. Tapi dia tetap ga ada. Sakitkah dia?

Kereta merapat menuju stasiun Karet. Dari arah gerbong 4, sesosok keindahan muncul dari balik keramaian. Dari balik badan setiap orang yang memberi keindahan itu jalan. Matanya yang sayu tertuju ke depan, mencari celah agar bisa berdiri dan menuju pintu keluar. Dia melihatku, memandangku sekejap. Tuhan, tak cukup terimakasihku untuk kebahagiaanku pagi ini, keindahan yang Kau berikan padaku pagi ini. Di ujung harapku...

di sudut mata...

Somehow, gw bersyukur kepada Tuhan. Gw dikasih karunia berupa mata dan hati. Dua mata, normal, yang bisa melihat keajaiban dan keindahan dari Tuhan, dan hati untuk menilai keajaiban dan keindahan tersebut. Dia,  berdiri di sudut mata gw. Dengan baju putih lengan panjangnya. Dengan tas hitam, dan kantong kertas berwarna pink, bertali putih. She was there. Rambutnya sebahu lebih dikit. Matanya memandang dengan sayu. Seolah menyapa, atau gw yang terlalu ge-er aja kali ya? Dia masih mencari tempatnya untuk berdiri. Tempat yang lega, agar dia bisa membawa dua tasnya itu. Diujung gerbong dia berhenti. Bersandar di dekat pintu di ujung gerbong. Tas kertasnya diletakkan di bawah, di sela kedua kaki kecilnya yang berselimut celana hitam, dan sepasang sepatu hitam. Dia masukan tangannya ke dalam tas, ga tau apa yang dia cari. Dibantu dengan kedua mata sayunya, ia melihat ke dalam tas. Dia keluarin sebuah mp3 player, warnanya pink, dengan earphone putih. Di masukkannya dua ujung earphone itu tiap-tiap telinganya. Ditundukkan kepalanya. Dia masih ragu, lagu apa buat hari ini, buat pagi ini, setelah beberapa lama, kayanya dia temukan lagu yang dia suka. Gimana gw bisa tau? Dia tersenyum dan mulai menggerakkan kepalanya perlahan ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan irama lagu yang dia dengerkan. Dari ketukannya dan membaca gerakan bibir tipisnya, lagu pop, atau paling nggak pop rock. Girly things banget deh. Gw ga bisa tenang. Dia bikin gw jadi maling, dia bikin gw jadi pencuri. Dia bikin gw selalu berusaha curi-curi pandang. Sampai suatu ketika dia...

di kanan...

Kereta listrik gw udah jalan dari stasiun. Pas, seperti yang dibilang di pengeras suara. Jam 06.31. Dengan penumpang yang lumayan ramai, pelan tapi pasti, KRL Sudirman Express itu mulai jalan. Goyang kekiri, kekanan. Kaya anak kecil baru belajar jalan. Limbung, tapi tetap di jalurnya. Beberapa ratus meter kemudian, jalannya mulai stabil. Sambil masinis menambah kecepatan, biar cepat sampai di stasiun berikutnya, yang jaraknya hanya 10 menit, dari stasiun tempat gw biasa naik, Sudimara. Seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya, gw selalu berdiri, selalu ditempat yang sama, selalu di gerbong yang sama, dan selalu dengan orang-orang yang sama setiap hari. Orang-orang yang ga gw kenal satupun dari mereka, tapi gw (setidaknya) udah hafal, setiap wajah dari orang-orang itu. Siapa yang baru pertama kali naik kereta, siapa yang cuma sesekali naik kereta, dan siapa yang selalu setiap hari naik kereta tanpa pernah absen.

Cepat juga KRL gw jalan. Seperti seolah-olah ga ada yang berani ngalangin di depannya. Beberapa saat kemudian, kereta ini berhenti di sebuah stasiun lain di Bintaro, stasiun Pondok Ranji. Remnya yang mendadak bikin orang-orang jadi limbung. Gw disana, berdiri di dekat pintu, waktu pintu kebuka. Dua tangan ini sibuk dengan game Roller Coaster 3D yang baru gw install kemaren di kantor. Telinga ini penuh dengan teriakan dan kemarahan Til Lindemann, vokalis industrial punk rock band dari Jerman, Rammstein. Gw ga peduli dengan sekeliling gw. Gw ga perhatiin setiap wajah mereka yang masuk ke gerbong gw. Terlalu penuh jumlah orang yang masuk, terlalu sesak dan berdesakan mereka itu. Sampai gw angkat muka gw, celingukan, berharap ada seseorang yang gw kenal, dan bisa gw ajakin ngobrol, at least, daripada gw basi maen game yang ternyata ga seru-seru amat. Gw liat kekiri, bah, emak-emak (ga bermaksud mendiskreditkan ibu-ibu wanita karier, tapi emang dasarnya emak-emak, udah umur tapi dandannya menor bener dah), ada lagi (mungkin) pasangan selingkuh, udah sama-sama tua, tapi mesranya ampun dah, kaya anak SMP cinta monyet. Di depan gw, astaga, si troublemaker, tukang nyempil, orang yang ga bisa baca koran sambil berdiri di kereta, tapi sok-sok baca koran, ampe halamannya selalu ngenain muka orang. Di kanan…