kesabaran adalah pohon...

Kukenal kamu sebagai gadis pendiam yang manis. Jarang kulihat kamu bercengkerama dengan teman-temanmu. Jarang pula kamu tampak bercanda atau sekedar curhat dengan teman-temanmu. Kamu itu unik, kamu jarang menyungginggkan senyum, padahal kamu manis saat tersenyum. Bibirmu itu, penuh, lembut, manis. Tapi tak sekali juga aku inginkan diriku mengecupnya, aku tahankan diri, bibir yang selalu terkatup itu, seolah begitu suci. Perasaan ini seolah berdosa bila mengecupnya, takut dan tak berani membayangkannya ternoda. Wajah kamu cantik, meski kamu tak seputih salju, tapi kulitmu yang kecoklatan itu menggugah pemikiran akan eksotisme dirimu. Sayang kecantikan itu terus kamu sangkal dan menutupinya dibalik lembut lebat helai rambutmu. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang kamu sembunyikan? Apa yang kamu tutup-tutupi? Apakah kamu takut, kecantikanmu itu akan membuatku menjamahmu? Sayang, untuk membayangkan bersamamu saja, aku sudah merasa berdosa, apa lagi bila aku lancang menjamahmu. Aku bersyukur, saat kita terpaut di asmara, kamu begitu berbeda, kamu seolah-olah membuat dunia baru bersamaku. Kamu lebih bersemangat, lebih ceria, lebih sering tersenyum, lebih hidup. Apakah aku sudah menjadi penyulut di api unggun kehidupanmu? Ah, betapa menyenangkannya melihatmu tertawa lepas penuh semangat dan gairah. Sesuatu yang ingin kulihat darimu, jauh sebelum kita di deru asmara. Kenapa aku harus menunggu lama untuk itu? Tapi kesabaran adalah pohon yang berbunga paling indah, dan berbuah paling manis, semanis senyummu saat kita dijala cinta. Termanis, yang ada dalam ingatanku...

di mimpiku aku sadar...

Sabtu malam, aku termenung sendiri. Menggelayutkan angan dan harapan tentang dirimu di sendunya bulan yang tak purnama lagi. Sayang bulan itu, rindu akan dirinya yang bersinar penuh, menerangi gelapnya malam. Kupandangi bulan lama, dengan tatapanku, yang jelas tanpa arti untuknya. Iba untuknya, seperti iba pada diriku sendiri, yang terlalu lemah dan lirih ketika ingin menegurmu, sehingga hanya mampu terucap sapa kepadamu dalam hati saja, sambil mulut ini terkatup. Entah sudah berapa lama aku menaburkan lamun dan khayal di beranda rumahku yang kecil ini. Entah sudah berapa lama jarum jam berdetak ketika aku tebarkan serbuk tidur beraroma mimpi di teras rumah ini. Hingga aku tak sadarkan diri dan terjatuh di bangku kayu reot dan lapuk yang kududuki. Aku tertidur, pulas, entah karena lelah, entah pula karena aku terlalu terbuai khayalku sendiri akan dirimu yang terasa mengganjal di lubuk hati. Aku terlelap, terkulai. Semua tampak hitam. Tapi entah datang darimana, aku melihatmu, di mimpiku aku sadar aku sedang bermimpi. Aku tahu aku sedang di alam bawah sadarku, ketika aku tahu ada kamu disini. Kamu duduk di sofa berwarna merah muda, dalam kamarmu yang pun berwarna merah muda. Dengan gaun berkilauan berwarna putih, begitu anggun kulihat kamu. Lagi-lagi, dan bahkan dalam mimpi, tenggorokanku tercekat ketika aku ingin bertanya siapa namamu. Ingin aku berteriak membebaskan diri dari rasa canggung ini. Dan tanpa aku pinta, tiba-tiba kamu sodorkan namamu untuk berjabat tangan denganku, sambil kamu sebutkan namamu. What the ....? Ini mimpi, bahkan aku sadar ini cuma mimpi, hanya dalam mimpi. Dengan lembut kamu sebutkan nama kamu, lemah, pelan, lirih, tapi terdengar jelas, sangat jelas malah, sampai aku bahkan masih ingat namamu senin pagi ini. Dari sudimara, aku kumpulkan semua nyali yang kupunya, segala keberanian kubulatkan, untuk menyapamu di kehidupan nyata, sekedar berkata “Hai...”. Tapi apa lacur, lagi-lagi semuanya buyar ketika kamu masuk melewati pintu gerbong kereta ini, aku jadi kerdil kembali, dan aku berteriak dalam hati, meneriaki diriku sendiri “Dasar Pengecut!”. Dan ya, aku memang pengecut...

di kecantikanmu...

Hari ini kamu menghampiri dan berdiri di dekatku, tepat di depanku. Kamu cantik sekali hari ini. Ah, tumben, ga biasanya aku lihat kamu pakai make up. Pantas saja, kamu terlihat sangat berbeda. Much mature than days before. Tipis sih make up kamu, but that makes you slightly different. Kamu cantik. Aku berdiri di depanmu, tertegun, sambil menahan rasa di hati ini. Bergejolak. Jantungku makin berdetak kencang waktu aku melirik wajahmu. Semakin hari, semakin cantik, semakin aku tak bisa menahan hati ini. Betapa kasihannya diriku, hanya bisa melihat kecantikan itu. Kasihan aku ini yang terlalu pengecut untuk menegurmu. Di kecantikanmu aku cuma berani merasa, tapi tak bisa berujar. Mati berdiri dan kaku di hadapan tatapan bulat mata sayumu itu...

di kaca jendela ini...

Setelah berhari-hari ini, setelah hampir sebulan, aku relain buat ga liat kamu di kereta ini lagi. Dari rindu sampai kecewa, sampai dendam, sampai akhirnya rasa terhadap kamu itu hilang. Dari aku yang terbiasa ada kamu, sampai akhirnya aku jadi biasa tanpa kamu. Tapi kenapa ada kamu lagi pagi ini? Kenapa aku harus lihat kamu lagi di gerbong ini pagi ini? Kenapa? Aku palingkan pandanganku sepagian ini dari kamu. Aku buang jauh keluar, ke derunya angin laju kereta. Aku biarkan mataku (hanya) untuk melihat keluar. Tak kurelakan mataku buat memandangi kamu. Toh aku tak perlu merasa bersalah terhadap perasaan ini, dia sudah terbiasa. Walaupun aku sedikit kecewa karena terlalu congkak, tapi aku tak bermaksud begitu. Di hati terdalam, terdalam, aku senang lihat kamu lagi. Bahagia. Dahaga akan kehadiranmu terlegakan sudah. Dendam yang terbakan ini redam sudah. Dan sekali lagi kamu sudah berhasil bikin aku gugup, tapi aku senang. Seandainya saja kamu tahu betapa leganya bisa memandang bayanganmu di kaca jendela ini. Ya, seandainya saja kamu tahu...

biar...

Ah, betapa menyenangkannya berbincang lagi denganmu, setelah kita berdua terdiam bertahun lamanya. 9 tahun kita berdua tercekat, kelu. Perbincangan hangat yang aku rindu sekian lama. Kali ini, kita berbincang tanpa melibatkan hati dan emosi. Kita berbicara layaknya orang dewasa sebagaimana mestinya, bukan lagi bagai dua remaja yang diburu asmara. Kita berbicara seperti dua orang teman lama, yang terpisah seolah tak pernah terpaut oleh rasa. Perbincangan ringan, hal-hal sehari-hari kita, bagaimana hari-hari itu kita jalani setelah perpisahan kita. Dan lucunya, hal-hal itu diungkapkan tanpa membiarkan rasa kita hanyut didalamnya. Kita bercanda, tertawa lepas, seperti kita tak pernah merasakan pahitnya cinta karena perpisahan. Betapa berbedanya kita sekarang, bukan begitu, sayang? Kamu masih tetap lucu seperti dulu, masih juga menggemaskan. Aduh, aku jadi merasa bodoh, melepaskanmu hanya karena terpisah oleh jarak, bodoh. Tapi sudahlah, toh sudah terjadi juga. Anehnya lagi, kita berbincang tentang kita dulu, tentang kisah kita, cinta kita, benci kita, suka kita dan duka kita, tapi pada saat bersamaan kita berdua sadar, sesadar-sadarnya, untuk mengubur dan tak mengungkapkan hal-hal yang akan memancing atmosfer yang membuat kita canggung. Apakah kita sudah benar-benar dewasa sayang? Aku tak bisa menebak bagaimana suasana hatimu. Tapi apabila aku boleh jujur, ada penyesalan di hatiku, secuil, tapi melukakan. Tak apalah. Biar aku pendam saja rasa ini. Biar. Agar kita tetap berbincang sehangat ini. Agar kita tetap bisa tertawa bahagia ditingkahi canda, ah... senyummu itu, lagi-lagi menghanyutkan aku. Dan adalah hal sederhana seperti itu yang mungkin dulu tak sempat kita rasakan. Mungkin dengan obrolan ini, aku bisa merasa nyaman dekatmu lagi, meski aku tahu, tak mungkin untuk bersamamu. Tapi biarlah toh aku bahagia...