impian separuh

Salahkah bila aku menyukainya? Selalu memandanginya dalam gerbong ini? Selalu berharap untuk bisa bersamanya setiap kali aku berangkat atau pulang bekerja? Salahkah aku yang berharap untuk sekedar tahu siapa namanya?


Dan akupun selalu berharap untuk tahu siapa dia. Setiap malam sesaat sebelum aku lelap tertidur, aku berharap untuk tahu namanya. Sekedar tahu. Cukup. Sekedar mengetahui namanya. Aku cuma ingin itu.


Malam itu, akupun kembali berharap keinginan yang sama untuk tahu namanya. Berkenalan dengannya, meskipun hanya di alam mimpi.


...


Saat pagi menjelang, aku tersadar dari mimpiku. Aku berkenalan dengannya. Gadis itu. Gadis yang selalu kupandangi dalam gerbong ini. Masih kuingat jelas mimpiku. Meski samar-samar kuingat namanya. A***i. Tapi aku lupa nama belakangnya. Aku tak mampu mengingat nama lengkapnya. Aaaahhhhh...


Sebagian misteri itu sudah terkuak. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Atau aku berharap kembali bertemu dia dalam mimpiku? Atau aku harus terus berusaha mengingatnya mimpiku lagi? Atau...?


Published with Blogger-droid v2.0.4

bertekuk lutut, kaku, terpaku dan diam

Melihatnya hari ini bersama dalam satu gerbong sudah cukup melegakan dahagaku. Yang kering karena merindukan senyum di bibirnya itu. Bahagianya aku senja ini. Di gersang dan panasnya udara Jakarta hari ini. Hmmmmm...


Aku masih berusaha mengingat apa yang membuatku begitu menyukainya. Aku sudah hampir lupa. Wajahnya? Sepertinya tidak sepenuhnya benar juga. Senyumnya? Adalah sebuah pelengkap di rupa ayunya. Dia sepenuhnya dengan segala kesempurnaannya? Mungkin. Bagiku tak ada yang kurang darinya.


Bahkan dari cara dia mengedipkan mata, menggigit bibirnya, cara berbicaranya. Tuhan, betapa cantiknya ciptaan-Mu. Aku takut untuk berusaha memilikinya. Rasanya tak sepadan. Sebuah karya indah-Mu ada di dekatku.


Jantung ini tak berdetak dengan baik. Setiap kulihat dia, jantung seakan berhenti berdetak beberapa detik. Aku serasa mati di hadapannya. Di hadapan malaikat berbentuk manusia-Mu itu. Bertekuk lutut, kaku, terpaku dan diam.


Published with Blogger-droid v2.0.4

asa pasrah larut di rintik hujan



Hujan rintik saat aku berjalan menuju Stasiun Kereta Sudirman hari itu. Titik-titik airnya menguap seiring angin kencang yang bertiup ke arahku. Aku berlari kecil. Tak ingin aku tertinggal kereta yang sama, yang selalu aku kejar setiap hari. Agar selalu bisa memandangi dan mengagumi kecantikannya – dari kejauhan. Hujan rintik itupun semakin deras saat ayunan langkah kaki ini semakin mendekati stasiun. Aku berlari bergegas. Antrian tiket agak panjang. Tak apalah. Toh keretaku masih berhenti menunggu waktu pemberangkatan di stasiun Manggarai.

Aku berjalan di sepanjang peron. Kuperhatikan muka-muka mereka yang basah karena hujan. Kulihat mereka yang sibuk melipat payung. Kudengar mereka yang menggunjingkan hujan. Dari ujung hingga ke pertengahan peron telah ramai manusia. KRL CommLine Jatinegara belum datang, masih juga belum berangkat dari Manggarai. Sementara CommLine Serpong selalu berangkat sesudah CommLine Jatinegara. “Ah, masih sempat untuk menunggu dia”, pikirku. Dan aku masih berjalan menyusuri peron berlantai basah ini.

Kususuri peron ini hingga ke ujung, hingga mendekati arah foodcourt. Biasanya dia duduk disana bersama teman-temannya menanti kereta datang. Aku berdiri di penghujung tangga menuju foodcourt. Tapi aku tak melihat dia. Akan aku tunggu. Kupalingkan tatapanku ke arah loket 3. Berharap dia disana, baru datang dan membeli tiket. Kuhabiskan waktuku menatap loket 3. Tapi tak kulihat dia. Pengumuman di pengeras suara memberi tahu bahwa CommLine Jatinegara sudah berangkat dari Manggarai.

Tidak sampai 5 menit kemudian, berangsut datanglah CommLine Jatinegara, segeralah kereta itu dipenuhi dengan penumpang yang telah menanti disela hujan. Menyisakan penumpang CommLine Serpong. Kemudian aku berpikir, “mungkin dia di ujung peron dekat escalator”. Maka aku berbalik arah. Kususuri lagi peron ini. Kusapukan tatapanku pada setiap mereka yang ada di peron. Berharap dia ada. Hingga ujung tak kulihat dia. Dan aku kembali lagi ke arah foodcourt. Lunglai.

Aku menunggu CommLine di pertengahan peron ini. Dengan asumsi, aku bisa melihat ke dua arah ujung peron, sehingga paling tidak aku tahu dia ada. Tak melihatnya dengan jelas pun tak apa. Selama aku tahu dia ada, itu sudah cukup melegakan. Hingga kemudian terdengar pengumuman bahwa CommLine Serpong akan segera datang. Tapi dia tak kunjung datang. Perasaan ini tak tenang. Galau.

Aku tunggu detik demi detik, menit demi menit, tapi tak juga kulihat dia. Kulihat ke semua arah, ke segala kemungkinan kedatangannya. Tapi dia tetap tak terlihat. Hingga saatnya keretaku datang. Kutahan untuk tidak segera masuk. Masih berharap bisa melihat dia di menit-menit terakhir sebelum keberangkatan. Sayangnya itu tak terjadi. Dan dengan segenap perasaan sedih aku berjalan memasuki gerbong. Dia tidak ada. Asaku larut dalam rintik hujan sore ini. Pasrah.

bingkai lukisan asa

Setiap kali aku melihatnya, senyumnya seakan merobek lembayung sore setiap hariku. Membuat retakan yang menganga yang seolah membiarkanku untuk masuk ke dalam sebuah ruang khayal tentangnya. Tentang dia, gadis cantik berkacamata itu. Ujung-ujung bibirnya yang penuh itu seakan menarikku masuk ke sebuah dunia yang berbeda, yang dipenuhi dengan kelopak bunga berwarna-warni yang berterbangan.

Dia selalu disana dan duduk terdiam di balik punggung manusia yang berarak pulang bagai burung gereja di senja hari. Duduk, dengan anggun. Dengan pandangan yang seakan membuktikan kepadaku bahwa masih ada keindahan tersisa di dunia ini. Keindahan yang takkan lelah untuk terus aku tatap. Yang terus kupakai sebagai pewarna dalam lukisan di benakku. Yang kubingkai dengan rasa dan asa.

Entah akan kudiamkan lukisan itu berapa lama. Aku masih tak bernyali untuk mendatanginya. Walau hanya sekedar untuk datang, menyapanya. Dan memperkenalkan diri. "Hai, namaku ...".


Published with Blogger-droid v2.0.4

mata bulat beningnya

Aku melihatnya sore itu di gerbong KRL CommLine Serpong yang berangkat terlambat dari stasiun Sudirman. Membelakangi cahaya jingga matahari sore itu. Terbentuk bayangan disisi wajahnya. Hari itu kali pertama kulihat dia di kereta ini. Matanya yang bulat bening bersembunyi dibalik bingkai kacamatanya - yang entah kenapa sangat sesuai di wajahnya. Bibir merahnya merekah seiring senyumnya yang tersungging di wajah cantik itu.

Pahatan sempurna Tuhan kulihat dengan jelas. Rona merah pipi itu, seakan menampar kesadaranku. Aku telah memperhatikannya entah sudah berapa lama. Dia menatap kembali ke arahku. Segera kupalingkan muka ini dengan sejuta daya menyembunyikan rasa malu. Dan aku bertanya dalam hati, "salahkah aku jika menatap wajah cantikmu itu?". Kuharap tidak.

Kereta berhenti cukup lama ketika akan masuk stasiun Tanah Abang. Cukup waktu bagiku untuk memperhatikannya sebelum ia dikelilingi manusia-manusia lain yang beranjak masuk dari peron. Tuhan, cantiknya dia. Aku melihatnya bercanda dengan teman-temannya. Tawanya yang lepas. Aahh... keindahan itu.

Dan ketika kereta masuk stasiun. Peron sudah dipenuhi penumpang yang beranjak merangsek masuk ke dalam gerbong. Dan ia tersembunyi di balik punggung orang-orang komuter ini. Tapi aku masih bisa melihat mata bulatnya itu. Yang menatapku kembali. Tatapan yang takkan aku lupakan sampai hari ini.


Published with Blogger-droid v2.0.4

di antara degup jantung...

Matahari kedipkan cahayanya pagi itu. Ramah senyumnya di balik selimut awan. Pagi yang indah. Aku lihat kupu-kupu berkejaran ketika aku berdiri di sisi kereta pagi itu. Aku takkan pernah menyangka dan menjangka apa yang akan kulihat hari itu. Kamu. Yang berjalan tenang dan santun ketika memasuki gerbang kantorku. Aku yang sedang masyuk dalam tawa canda, terkesima. Aku diam. Kunikmati langkahmu di antara irama degup jantungku...


Lalu kamu berhenti sejenak. Kamu tolehkan wajahmu. Aku pun terhenyak dan tersadar. Bangkit dari buaian irama langkahmu. Matamu menatap mataku. Hening. Diam. Sunyi. Kurasakan damai lalu kukendalikan lagi diriku, sebelum aku terhisap cantik parasmu itu. Kamu tersenyum. Dan seketika akupun hilang di antara irama degup jantungku...


Published with Blogger-droid v2.0.1

di 30 menit terindah setiap pagi...

Aku bahkan belum sempat bertanya dan melakukan pembenaran akan mimpiku tentangmu, serta pencarian dirimu, tapi aku ingin sesegera mungkin mengakhiri kisah hati ini. Mungkin, mungkin saja ini penghabisan dari semua rasa sukaku ke kamu. Perhentian akan segala cerita tentang kamu, yang, kamu boleh percaya atau tidak, telah mewarnai pagi hariku, membuatku selalu bersemangat menatap siangku hingga senjaku, selama hampir 100 hari. Mungkin juga, ini kisah terakhir tentang kamu yang kutumpahkan dengan segenap rasa di blog ini. Mungkin saja, karena masih banyak cinta, yang ternyata harus kusimpan, dan nantinya niscaya akan kubagikan bagi mereka yang dahaga. Ternyata, setelah kutahu kamu, siapa kamu, aku terlanjur kecewa. Kamu tidak seperti bayanganku, kamu bukan yang aku harapkan. Aku mungkin pengharapanku akanmu yang terlalu membumbung tinggi. You belong to somebody else, you live in a high life, you just too far to reach, you drive in a speed of light. You are just not me at all. Aku letakkan semua pertaruhanku akan kamu, sayangnya, aku kalah. You are just not me. Kalian, mereka, bahkan diriku boleh meneriakiku sebagai pengecut. Ya, aku memang seorang pengecut. Pendamba yang hilang asa. Segala sukaku kepadamu menguap tanpa sisa. Hilang kabur jejaknya tanpa bekas rupa. Entah seharusnya rasa ini milik siapa dan dimana. Aku mundur mengejarmu, terlalu banyak alasan untuk itu. We life a different pace. Aku hanya merasa tak mungkin bagiku untuk bersamamu bahkan memilikimu. Dia yang bersamamu yang memilikimu, atau dia yang lain yang turut mengejarmu juga di gerbong ini. Aku mundur karena ketidak percayaanku. Aku mundur karena aku memang pengecut yang lemah hati. Dia dan dia mungkin lebih layak dibandingkan aku yang tidak setara denganmu. Aku kalah, tapi biarlah, ini juga bukan yang pertama kali. Aku pecundah, tapi tak apa, toh aku tak pernah memenangkan apapun. Aku mundur dari pertempuran hati ini, karena aku merasa basi. Kemenanganpun terasa percuma, aku sudah merasa kalah. Tak perlu beranggapan aku kalah dari dia yang memiliki dan mencintaimu. Aku bahkan kalah dari dia yang mengejarmu juga setiap pagi. Dia terlihat lebih peduli, care, dan sayang kepadamu, dibandingkan aku.

Akhirnya inilah penutup akan 30 menit terindah setiap pagi. Inilah akhirannya, tanpa kemungkinan akan imbuhan lagi. Aku sudah patah arang, sebentar lagi juga baranya akan mati. Dan nantinya, apabila saja, kamu baca tulisan ini, aku hanya ingin kamu tahu, bahwasanya di setiap 30 menit perjalananmu di kereta Sudirman Ekspres setiap pagi, ada lelaki yang dengan sabar menantimu di gerbong ini, menunggumu di pintu kereta ini, mendambamu kala kamu tersembunyi di balik keramaian, dan bahkan menyukaimu, sangat sangat menyukaimu. Ini pula akan jadi 30 menit terindah setiap pagi yang akan aku kubur dengan segala perih, pedih dan sedih. Dan mudah-mudahan saja kamu tahu itu, Nuy...

di tengah keramaian manusia-manusia urban ini...

Aku sekarang tahu namamu, aku tahu kamu sekolah dimana, kuliah dimana, kapan kamu ulang tahun, apa hobi kamu, semuanya, nyaris semua aku sudah tahu. Aku cari kamu di facebook. Ya, aku cari kamu berdasarkan ingatanku akan namamu yang kamu sebutkan di mimpiku. Dan aku temukan kamu, kulihat fotomu, tapi sayangnya aku belum sepenuhnya yakin itu kamu. Aku tetap harus bertanya langsung ke kamu. Aku tebalkan segala keyakinanku untuk bertanya padamu, berharap akan sebuah pembenaran akan apa yang aku dengar dan aku rasa dalam mimpi. Sebuah pembenaran akan apa yang kucari di facebook. Sebuah pembenaran tentang kamu. Lalu pagi ini kugantungkan semua harapan keyakinanku itu di langit-langit gerbong kereta yang berdebu. Kupahat semua raut percayaku di jendela kereta yang rapuh dan hampir pecah ini. Kujilat semua angan indah tentangmu. Saat kamu tampakkan wajahmu di Pondok Ranji, di pintu gerbong kereta ini, lalu kamu langkahkan kakimu, mencari tempat yang tersedia untuk berdiri. Dan hanya satu tempat tersisa, tepat di sampingku. Lalu kamupun berdiri disana. Hatiku bergejolak saat itu, saat aku ingin mempertanyakan keyakinanku. Kuulur waktu, karena canggungku yang tak kunjung pergi. Yang telah kuusir dengan jutaan cara dan makian sehingga bisa ular pun tak mematikan. Kuulur waktu sampai tanpa sadar, kereta ini telah tiba di Sudirman. Saat pintu keluar terbuka, kamu segera berlari-lari kecil ke atas. Dan, ah! Anjrit...! Percuma kukejar kamu, orang-orang ini terlalu padat berdesakan. Dan akhirnya kamupun hilang di tengah keramaian manusia-manusia urban ini. Aku hanya bisa menyesali dan menyumpah serapah dalam hati. Penyesalanku karena menjadi pengecut. Penyesalanku menjadi pecundang. Penyesalanku menjadi orang bodoh. Bodoh! Bodoh...!

kesabaran adalah pohon...

Kukenal kamu sebagai gadis pendiam yang manis. Jarang kulihat kamu bercengkerama dengan teman-temanmu. Jarang pula kamu tampak bercanda atau sekedar curhat dengan teman-temanmu. Kamu itu unik, kamu jarang menyungginggkan senyum, padahal kamu manis saat tersenyum. Bibirmu itu, penuh, lembut, manis. Tapi tak sekali juga aku inginkan diriku mengecupnya, aku tahankan diri, bibir yang selalu terkatup itu, seolah begitu suci. Perasaan ini seolah berdosa bila mengecupnya, takut dan tak berani membayangkannya ternoda. Wajah kamu cantik, meski kamu tak seputih salju, tapi kulitmu yang kecoklatan itu menggugah pemikiran akan eksotisme dirimu. Sayang kecantikan itu terus kamu sangkal dan menutupinya dibalik lembut lebat helai rambutmu. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang kamu sembunyikan? Apa yang kamu tutup-tutupi? Apakah kamu takut, kecantikanmu itu akan membuatku menjamahmu? Sayang, untuk membayangkan bersamamu saja, aku sudah merasa berdosa, apa lagi bila aku lancang menjamahmu. Aku bersyukur, saat kita terpaut di asmara, kamu begitu berbeda, kamu seolah-olah membuat dunia baru bersamaku. Kamu lebih bersemangat, lebih ceria, lebih sering tersenyum, lebih hidup. Apakah aku sudah menjadi penyulut di api unggun kehidupanmu? Ah, betapa menyenangkannya melihatmu tertawa lepas penuh semangat dan gairah. Sesuatu yang ingin kulihat darimu, jauh sebelum kita di deru asmara. Kenapa aku harus menunggu lama untuk itu? Tapi kesabaran adalah pohon yang berbunga paling indah, dan berbuah paling manis, semanis senyummu saat kita dijala cinta. Termanis, yang ada dalam ingatanku...

di mimpiku aku sadar...

Sabtu malam, aku termenung sendiri. Menggelayutkan angan dan harapan tentang dirimu di sendunya bulan yang tak purnama lagi. Sayang bulan itu, rindu akan dirinya yang bersinar penuh, menerangi gelapnya malam. Kupandangi bulan lama, dengan tatapanku, yang jelas tanpa arti untuknya. Iba untuknya, seperti iba pada diriku sendiri, yang terlalu lemah dan lirih ketika ingin menegurmu, sehingga hanya mampu terucap sapa kepadamu dalam hati saja, sambil mulut ini terkatup. Entah sudah berapa lama aku menaburkan lamun dan khayal di beranda rumahku yang kecil ini. Entah sudah berapa lama jarum jam berdetak ketika aku tebarkan serbuk tidur beraroma mimpi di teras rumah ini. Hingga aku tak sadarkan diri dan terjatuh di bangku kayu reot dan lapuk yang kududuki. Aku tertidur, pulas, entah karena lelah, entah pula karena aku terlalu terbuai khayalku sendiri akan dirimu yang terasa mengganjal di lubuk hati. Aku terlelap, terkulai. Semua tampak hitam. Tapi entah datang darimana, aku melihatmu, di mimpiku aku sadar aku sedang bermimpi. Aku tahu aku sedang di alam bawah sadarku, ketika aku tahu ada kamu disini. Kamu duduk di sofa berwarna merah muda, dalam kamarmu yang pun berwarna merah muda. Dengan gaun berkilauan berwarna putih, begitu anggun kulihat kamu. Lagi-lagi, dan bahkan dalam mimpi, tenggorokanku tercekat ketika aku ingin bertanya siapa namamu. Ingin aku berteriak membebaskan diri dari rasa canggung ini. Dan tanpa aku pinta, tiba-tiba kamu sodorkan namamu untuk berjabat tangan denganku, sambil kamu sebutkan namamu. What the ....? Ini mimpi, bahkan aku sadar ini cuma mimpi, hanya dalam mimpi. Dengan lembut kamu sebutkan nama kamu, lemah, pelan, lirih, tapi terdengar jelas, sangat jelas malah, sampai aku bahkan masih ingat namamu senin pagi ini. Dari sudimara, aku kumpulkan semua nyali yang kupunya, segala keberanian kubulatkan, untuk menyapamu di kehidupan nyata, sekedar berkata “Hai...”. Tapi apa lacur, lagi-lagi semuanya buyar ketika kamu masuk melewati pintu gerbong kereta ini, aku jadi kerdil kembali, dan aku berteriak dalam hati, meneriaki diriku sendiri “Dasar Pengecut!”. Dan ya, aku memang pengecut...