di hadapan raut rupa indahmu...

Sketch book ini masih kosong, betapa susahnya menggambarkan dirimu di buku ini. Dirimu terlalu cantik untuk kutumpahkan di secarik kertas. Pensil ini terlalu hitam untuk melukiskan lembutnya dirimu. Jemariku lemah dan gemetar di hadapan raut rupa indahmu...

di gundahnya hati...

Hati gw beku dan membiru pagi ini. Kaku. Dingin. Dia terlalu jauh disana. Mata sayunya hanya sanggup gw lihat dari kejauhan. Gw intip dari balik ramainya kerumunan. Suasana hati gw kacau, rasa itu tercampur aduk. Rindu itu terombang-ambing, oleng kesana dan kemari. Seperti gw yang dihempas kesana kemari oleh lajunya KRL pagi ini. Dia dibalik keramaian, tak bergeming. Gw gelisah. Di gundahnya hati, gw termenung...

di rindu pagi...

Kemaren gw ga berangkat dengan KRL ini. I had this kinda family matters, so I missed my train yesterday. And so does my heart, misses her so much. Gw ga tau, dan ga berani berharap dia merasakan hal yang sama. Hari ini gw kembali dengan kereta yang sama setiap pagi. Lagi dan lagi, ditempat yang sama, dengan orang-orang yang sama. Dan dengan dia pastinya. Gw lihat dia disana, dibalik ramainya kerumunan kaum komuter. Di sebalik kerah-kerah kaum pekerja.

Ah, betapa manis dan anggunnya dia. Wajah itu, rupa itu, rupa cinta, wajah yang ingin dilindungi, rupa rindu, wajah yang bikin hati biru dan beku. Dia disana, di balik semua riuh itu. Dengan blouse dan rok hitam, betapa manisnya dia Tuhan. Mungkin, ya mungkin aja, dia ga akan pernah menyadari gw ada selama ini, disini. Terkadang dari tempat yang begitu dekat, ga jarang dari tempat yang terlalu jauh. Mungkin dia ga sadar ada gw. That’s ok with me.

Gw ga sakit, karena gw mencinta. Gw ga kecewa, karena gw mendamba. Di rindu pagi ini, gw temukan lagi keindahanNya...

She was an ordinary girl. Way too ordinary. But she become a goddess, the way she smile...

di birunya langit...

Indah pagi ini, matahari pagi menyeruak dengan sinarnya yang menyilaukan mata gw. Langit biru, tampak tenang. Setenang hati gw yang melihat dia berdiri tepat di depan gw. Begitu dekat, seolah-olah gw ingin menyentuh wajah lembut itu, ingin gw usap wajah halus itu, but I just can’t. Ingin menyapanya, tapi tenggorokan ini terasa tercekat, lidah ini kelu, mulut ini kaku, rasa ini gentar, bergetar menggila. In her grey jacket, she was so quite and calm.

God, I can’t thank You enough for this magnificent awesome morning. Di birunya langit, aku terpaku dan terpana di senyumnya...

di hati...

Kamu, yang ga aku tahu siapa nama kamu. Kamu, yang setiap pagi selalu mengisi irama hidupku. Kamu, yang setiap pagi membangkitkan semangatku. Kamu, yang setiap pagi membuatku mengalihkan pandanganku. Kamu, yang punya rambut sebahu. Kamu, yang selalu datang dengan jaket abu-abu. Kamu, yang berjalan dengan langkah yang ayu. Kamu, yang selalu membuat diriku terpaku. Kamu, yang selalu membuat lidahku kelu dan kaku. Kamu, yang bikin mulut ini tercekat dan beku. Kamu, yang bikin nada-nada indah di jantungku. Kamu, yang bikin suasana lebur dan syahdu. Kamu, yang selalu melihat dengan mata kamu yang sayu. Kamu, yang bikin 30 menit setiap pagiku terasa cepat berlalu...

Seandainya, kamu baca ini. Aku cuma pengen tahu nama kamu. Biar bisa kusimpan dalam. Di hati...

di menit terakhir...

Gw harap-harap cemas pagi ini, sangat berharap dia datang. Berharap dia selalu masuk di gerbong yang sama. Di gerbong ini, penuh sesak, terlalu banyak manusianya. Di stasiun Pondok Ranji, orang-orang berdesakan untuk masuk. Gw berdiri terpaku di ujung gerbong, gw sortir setiap dari wajah-wajah mereka yang masuk. Tapi gw ga liat dia masuk, dia dimana? I’m dying, desperately waiting and wanting her.

Gw tunggu, tunggu, dan tunggu. Detik berjalan, menit berlalu. Sampai akhirnya, dia datang. Berlari-lari kecil dalam keanggunannya. Rambut hitamnya tergerai tertiup angin. Menggelombang di aroma pagi itu. Dia masuk ke dalam gerbong ini, di menit terakhir gw menunggu...

di pintu keluar...

Mungkin hanya dikejauhan gw bisa ngeliat dia hari ini. Entah ini nyata atau ga, mimpi atau bukan, atau hanya teori gw yang mencoba menenangkan kegalauan gw. Dia nungguin gw diatas, di pintu keluar. Mungkin buat orang lain biasa, ga ada maksud apa-apa, mungkin di perasaan gw aja kali. Gw juga ga tau. Seconds after I walked in front of her. Di ikutan jalan. Right besides me. Di sebelah kanan gw.

Hati gw berantakan. Perasaan ini campur aduk. Kecewa itu hilang, berganti dengan rasa kikuk, grogi, deg-degan. Entah apa pun namanya itu. Irama langkah yang sama dengan gw. Gw ga tau dan ga bisa nebak apa maksudnya itu. Tapi gw senang. Gw bahagia, dan kebahagiaan itu hadir di pintu keluar stasiun Sudirman...

di kejauhan...

The train was running a little late, then speed up so quick. Dia Pondok Ranji, dia masuk di gerbong yang sama setiap hari, di gerbong yang sama tempat gw selalu berdiri. But today, in the same car, but in different section. Dia masuk diantara kerumunan orang-orang. Dia ngeliat gw berdiri di ujung gerbong. Sebentar. Lalu dia berhenti. Still in the different section of the car. Jauh. Jauh dari gw, terlalu jauh buat gw, jangankan untuk menggapainya, untuk melihatnya aja, that was too damn far. Tuhan, dia disana, kumohon kepadaMu, bawa dia kemari. Agar gw bisa ngeliat dengan jelas ciptaanMu yang indah itu lagi, pagi ini, pagi esok, pagi esok lusa, setiap pagi selamanya.

Gw cuma samar-samar ngeliat dia, gw cuma bisa merayakan kedukaan rindu buat dia, di kejauhan...

God, I love that smile...

di ambang putus asa...

Dengan segala keputusasaan , gw cari dia sore itu. Sebuah alasan sederhana, apakah dia pulang dengan kereta yang sama dengan gw? Dari ujung rel terjauh, hingga ujung yang lain, gw telusuri dengan langkah perlahan dan gontai. Setiap wajah-wajah kusut itu, setiap raut muka lelah itu, dia ga ada. Ga tau dia dimana. Apa dia ga pulang di jam yang sama ma gw? Apa dia pulang lebih dulu? Atau dia pulang dengan kereta berikutnya? Apa dia pulang dengan seseorang? Seorang cowok mungkin? Tuhan, gw ga kuat untuk ngebayanginnya. Gw terlalu cemen untuk memikirkan dan apabila harus menerima kenyataan itu. Gw di ambang putus asa...

di hati gugup...

Pagi ini gw berdiri tepat di belakangnya. Dia begitu anggun, baju rompi terusan warna hitam, dengan kemeja putih. Tuhan, gw ga bisa ngomong apa-apa, dia terlalu indah. Saat tangannya terangkat ke atas, sekilas gw lihat, ada bekas luka di pergelangan tangan kirinya. What was happen to her? Namun begitu, dia tetap terlihat indah, tetap terlihat manis dan ga berkurang sedikitpun.

Setelah sekian lama, gw hanya bisa memperhatikan dia dari belakang. Hanya dari belakang pun, gw tetap bisa menikmati kecantikan alaminya. Hanya dari belakang pun, gw bisa bahagia melihat dia. Namun tiba-tiba, dia memalingkan badannya ke arah gw! Dia di depan gw sekarang! Mati gw! Gw mesti ngapain nih? Ah...kok gw jadi kikuk begini? Sesekali gw curi-curi pandang wajahnya. Matanya, mata bening sayunya itu. Dia melihat ke arah jendela, melihat ke luar. Dipandanginya sisi rel kereta ini, blurry image...

Saat dia memalingkan wajahnya ke arah gw, cepat gw buang jauh tatapan mata ini. Gw salah tingkah, jantung gw berdetak kencang. Di hati gw terasa gugup...

di tepian khayal...

Mata itu, memandang dengan sayu. Bibir itu, tersungging dengan malu. Pipi itu, tampak merah bersemu. Rambut itu, lembut tergerai sebahu. Dia ga cantik, dia biasa, terlihat biasa, malah terlalu biasa, ya, terlalu biasa. Jangan bayangkan dia yang berkulit putih, dengan bibir merah merekah, dan make up bak model. She's just a rare kind of ordinary beauty. Cantik bukanlah kata yang tepat buat menggambarkan dirinya. Manis atau bahkan indah, mungkin terasa lebih tepat. Sosoknya yang manis itu, yang indah itu, yang bikin gw ga pernah sehari pun, bosen buat ngeliat dia. Never ever. Not even a single day. Segala yang ada di dirinya, semua hal-hal yang 'biasa' yang ada pada dirinya, yang bikin dia terlihat jauh luar biasa dibandingkan cewek lain.

Sayang, dia menyakitkan. Dia mematikan. Dia membius. Dia meracuni. Dia menyesakkan. Dia menyebalkan. Dia mengecewakan dan menyesatkan cinta semua laki-laki yang hanya bisa memandangnya setiap hari, tanpa bisa bersamanya. Seperti gw. Yang cuma bisa ngeliatin dia, dan hidup bergantung di tepian khayal bersamanya...

di ujung harap...

Gerimis kecil pagi ini, titik-titik air jatuh perlahan, 06.15 gw udah nungguin kereta gw di Sudimara, calon penumpang juga belum banyak, hanya ada beberapa. Jam berjalan, tanpa sadar, stasiun kecil itu sudah ramai. Sebentar kemudian kereta datang, penumpang ramai berdesakan masuk ke dalam kereta. Di ujung, di sudut, di gerbong 3, seperti biasa, gw disana. Merasakan dan meresapi setiap lirik dari Debu di lagu Mahzab Cinta. Kata-katanya dalam, kena di hati gw. Kereta melaju kencang ke Pondok Ranji. Ah, gw ketemu dia lagi hari ini. Gw berharap. Dan berharap. Gw liatin setiap wajah-wajah yang masuk di gerbong 3 itu. She wasn’t there! God, what was happen to her? Sakitkah dia? Waktu kereta udah mulai jalan, gw terus memandangi selasar gerbong itu. Wajah orang-orang. Muka-muka bangun tidur yang dipaksa (atau mungkin tidak) untuk sadar dan terjaga akan tugas-tugas hari ini. Ga sekilaspun gw liat muka dia. Dimana dia hari ini.

Kereta terus berjalan cepat dan laju. Berhenti sejenak di stasiun Palmerah. Gw berharap, ketika penumpang mulai berangsur turun dan semakin sedikit, gw bisa liat dia. Tapi dia ga ada. Harapan gw jadi sia-sia. Kereta laju kembali, menuju stasiun Tanah Abang. Penumpang semakin sedikit. Banyak yang udah beranjak turun. Tapi dia tetap ga ada. Sakitkah dia?

Kereta merapat menuju stasiun Karet. Dari arah gerbong 4, sesosok keindahan muncul dari balik keramaian. Dari balik badan setiap orang yang memberi keindahan itu jalan. Matanya yang sayu tertuju ke depan, mencari celah agar bisa berdiri dan menuju pintu keluar. Dia melihatku, memandangku sekejap. Tuhan, tak cukup terimakasihku untuk kebahagiaanku pagi ini, keindahan yang Kau berikan padaku pagi ini. Di ujung harapku...

di sudut mata...

Somehow, gw bersyukur kepada Tuhan. Gw dikasih karunia berupa mata dan hati. Dua mata, normal, yang bisa melihat keajaiban dan keindahan dari Tuhan, dan hati untuk menilai keajaiban dan keindahan tersebut. Dia,  berdiri di sudut mata gw. Dengan baju putih lengan panjangnya. Dengan tas hitam, dan kantong kertas berwarna pink, bertali putih. She was there. Rambutnya sebahu lebih dikit. Matanya memandang dengan sayu. Seolah menyapa, atau gw yang terlalu ge-er aja kali ya? Dia masih mencari tempatnya untuk berdiri. Tempat yang lega, agar dia bisa membawa dua tasnya itu. Diujung gerbong dia berhenti. Bersandar di dekat pintu di ujung gerbong. Tas kertasnya diletakkan di bawah, di sela kedua kaki kecilnya yang berselimut celana hitam, dan sepasang sepatu hitam. Dia masukan tangannya ke dalam tas, ga tau apa yang dia cari. Dibantu dengan kedua mata sayunya, ia melihat ke dalam tas. Dia keluarin sebuah mp3 player, warnanya pink, dengan earphone putih. Di masukkannya dua ujung earphone itu tiap-tiap telinganya. Ditundukkan kepalanya. Dia masih ragu, lagu apa buat hari ini, buat pagi ini, setelah beberapa lama, kayanya dia temukan lagu yang dia suka. Gimana gw bisa tau? Dia tersenyum dan mulai menggerakkan kepalanya perlahan ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan irama lagu yang dia dengerkan. Dari ketukannya dan membaca gerakan bibir tipisnya, lagu pop, atau paling nggak pop rock. Girly things banget deh. Gw ga bisa tenang. Dia bikin gw jadi maling, dia bikin gw jadi pencuri. Dia bikin gw selalu berusaha curi-curi pandang. Sampai suatu ketika dia...

di kanan...

Kereta listrik gw udah jalan dari stasiun. Pas, seperti yang dibilang di pengeras suara. Jam 06.31. Dengan penumpang yang lumayan ramai, pelan tapi pasti, KRL Sudirman Express itu mulai jalan. Goyang kekiri, kekanan. Kaya anak kecil baru belajar jalan. Limbung, tapi tetap di jalurnya. Beberapa ratus meter kemudian, jalannya mulai stabil. Sambil masinis menambah kecepatan, biar cepat sampai di stasiun berikutnya, yang jaraknya hanya 10 menit, dari stasiun tempat gw biasa naik, Sudimara. Seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya, gw selalu berdiri, selalu ditempat yang sama, selalu di gerbong yang sama, dan selalu dengan orang-orang yang sama setiap hari. Orang-orang yang ga gw kenal satupun dari mereka, tapi gw (setidaknya) udah hafal, setiap wajah dari orang-orang itu. Siapa yang baru pertama kali naik kereta, siapa yang cuma sesekali naik kereta, dan siapa yang selalu setiap hari naik kereta tanpa pernah absen.

Cepat juga KRL gw jalan. Seperti seolah-olah ga ada yang berani ngalangin di depannya. Beberapa saat kemudian, kereta ini berhenti di sebuah stasiun lain di Bintaro, stasiun Pondok Ranji. Remnya yang mendadak bikin orang-orang jadi limbung. Gw disana, berdiri di dekat pintu, waktu pintu kebuka. Dua tangan ini sibuk dengan game Roller Coaster 3D yang baru gw install kemaren di kantor. Telinga ini penuh dengan teriakan dan kemarahan Til Lindemann, vokalis industrial punk rock band dari Jerman, Rammstein. Gw ga peduli dengan sekeliling gw. Gw ga perhatiin setiap wajah mereka yang masuk ke gerbong gw. Terlalu penuh jumlah orang yang masuk, terlalu sesak dan berdesakan mereka itu. Sampai gw angkat muka gw, celingukan, berharap ada seseorang yang gw kenal, dan bisa gw ajakin ngobrol, at least, daripada gw basi maen game yang ternyata ga seru-seru amat. Gw liat kekiri, bah, emak-emak (ga bermaksud mendiskreditkan ibu-ibu wanita karier, tapi emang dasarnya emak-emak, udah umur tapi dandannya menor bener dah), ada lagi (mungkin) pasangan selingkuh, udah sama-sama tua, tapi mesranya ampun dah, kaya anak SMP cinta monyet. Di depan gw, astaga, si troublemaker, tukang nyempil, orang yang ga bisa baca koran sambil berdiri di kereta, tapi sok-sok baca koran, ampe halamannya selalu ngenain muka orang. Di kanan…