Huff...kamu. kamu sekarang sudah dewasa ya sayang. Kamu semakin matang menunjukkan kepribadian seorang wanita sesungguhnya. Sesuatu yang dulu kamu selubungi dengan sifat pemalumu. Kamu berubah. Dan mungkin dulu aku yang terlalu cepat memetikmu, mungkin. Saat kamu masih sangat muda, masih terukur oleh permainan kata-kata cinta. Begitupun aku, terlalu terbuai indah bayanganku sendiri untuk bersamamu. Perjalanan kita, mengajari kita banyak. Banyak sekali. Kita tumbuh dan dewasa bersama dalam kabut tipis fajar kasih sayang. Yang mengaburkan pandangan kita akan jalan berat yang harus kita tempuh. Semakin kita berjalan, semakin kita melangkah, semakin tajan kerikil ang menusuk dan merobekkan telapak kita. Tetapi, kita semakin dewasa pula karenanya. Semakin kita erat bergandengan, semakin terjal bukit yang harus kita daki. Tapi, lagi-lagi ia makin meneguhkan kita. Sayangku, jalan setapak kecil yang selalu kita bagi untuk menuju puncak itu, mencatat setiap kenangan tentang kita. Tentang apa yang kita pelajari dalam hidup dan kehidupan bercinta. Jalan setapak berbatu tajam dan terjal itu membuat kita semakin sadar untuk bisa saling menempatkan diri kita masing-masing, seharusnya. Tapi sayang, saat kita berhasil menghalau segala aral, saat kita telah sampai di puncaknya, saat kita telah merasa berada di atap dunia, kita terlalu gembira. Terlalu tinggi mendongakkan kepala. Terlalu pongah menengok kembali jalan setapak itu. Kita lupa siapa kita sayang. Dan perlahan kecongkakan kita itu meruntuhkan cinta yang kita sulam dari onak belukar di sisi setapak jalan kita. Pongah itu mengoyak dan melunakkan hati kita. Tapi apa lacur, kita yang salah. Kita yang lupa. Kita yang terlalu hanyut dan mabuk di kolam cinta, yang ternyata tak semanis saat kita kecap rasanya kali pertama. Kusesali, entah dirimu, walau kutahu kamupun menyesal. Di atap, di puncak perjalanan kita, ternyata itu pula akhirnya. Tak pernah kita sangka, tak mampu kita sangkal. Jemari kita telah tak lagi saling bertaut, telah saling melonggarkan genggamannya. Kita selesai di puncak cinta kita. Ternyata kita lemah, perjalanan itu, tak menempa kita sebagaimana mestinya. Bukan salahnya, tapi salah kita. Kini, kamu cobalah sesekali menengok jalan setapak itu. Kamu coba langkahkan kakimu lagi, meski bukan bersamaku. Teruslah ke puncaknya, bangun dan tautkan tanganmu, walau disisimu bukan aku. Capai, apa yang dulu tak mampu kita gapai. Aku tak mungkin lagi bersamamu, sayangku. Biar aku dibawah, karena aku sudah lelah akan jalan setapak itu. Mungkin nanti, aku akan melangkah sendiri saja kesana...
No comments:
Post a Comment